3 Desember, Hari Penyandang Disabilitas Internasional: Strategi Menyikapi Stigma Sosial

Dipublikasikan: Selasa, 3 Desember 2024

Waktu membaca: 3 menit

Penulis: Julie

Editor: Julie

Klinik MyKidzHari Penyandang Disabilitas Internasional merupakan acara tahunan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1992. Hari Penyandang Disabilitas Internasional berfungsi sebagai wadah untuk memperjuangkan hak dan martabat individu penyandang disabilitas.

Diperingati secara global setiap tahun pada 3 Desember, Hari Penyandang Disabilitas Internasional bertujuan meningkatkan kesadaran akan tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas serta mendorong partisipasi penuh dan setara dari penyandang disabilitas dalam semua aspek masyarakat.  

Merujuk Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2016, yang dimaksud dengan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Ragam disabilitas meliputi:

1. Fisik

Terganggunya fungsi gerak, seperti: amputasi; lumpuh layuh atau kaku; paraplegi; cerebral palsy (CP); akibat stroke, akibat kusta; dan orang kecil.

2. Intelektual

Terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain: lambat belajar; disabilitas grahita; dan sindrom Down.

3. Mental

Terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, meliputi: gangguan psikososial (antara lain: skizofrenia, bipolar, depresi, ansietas, dan gangguan kepribadian) dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial (seperti autisme dan hiperaktif).

4. Sensorik

Terganggunya salah satu fungsi dari pancaindra, antara lain: disabilitas netra, rungu, dan/atau wicara.

Ragam disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis, seperti netra-tuli dan rungu-wicara.

Ragam disabilitas meliputi fisik, intelektual, mental, dan sensorik.
Ragam disabilitas meliputi fisik, intelektual, mental, dan sensorik. (Freepik)

Menurut Konvensi Hak Penyandang Disabilitas atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), anak-anak penyandang disabilitas merupakan kelompok populasi yang sangat beragam:

  • Anak-anak yang lahir dengan kondisi genetik yang memengaruhi perkembangan fisik, mental, atau sosial mereka.
  • Anak-anak yang mengalami cedera serius, kekurangan gizi, atau infeksi yang mengakibatkan konsekuensi fungsional jangka panjang.
  • Anak-anak yang terpapar racun lingkungan yang mengakibatkan keterlambatan perkembangan atau ketidakmampuan belajar.
  • Anak-anak yang mengalami kecemasan atau depresi sebagai akibat dari peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.

 

Menyikapi Stigma Sosial

Menjadi orangtua dari anak penyandang disabilitas bisa sangat menantang. Berbagai  tantangan kerap dialami orangtua dari anak penyandang disabilitas, salah satunya adalah stigma sosial dan isolasi.

Tak sedikit orangtua dari anak penyandang disabilitas yang merasa dihakimi oleh masyarakat dan bahkan keluarga terdekat. Si kecil pun kerap dijauhi karena terlihat “berbeda”. Akibatnya, baik orangtua maupun anak sering merasa terisolasi lantaran tak mendapatkan dukungan sosial yang semestinya.

Strategi menghadapi stigma sosial ataupun respons yang tidak suportif dari orang-orang di sekitar atau lingkungan.

  • Siap tempur atau diamkan saja.

Mama mungkin ingin membela diri sendiri atau si kecil dan mengoreksi atau menentang komentar negatif. Namun, jika Mama merasa tak siap untuk konfrontasi atau Mama tahu bahwa hal itu tidak akan membuat perbedaan apa pun, Mama dapat mengabaikannya dan mengganti topik pembicaraan. Tidak apa-apa juga jika Mama lebih memilih untuk tersenyum dan pergi begitu saja.

  • Manfaatkan kesempatan untuk mendidik.

Mama mungkin ingin membantu orang tersebut dengan mendidik mereka tentang disabilitas si kecil. Mama dapat mengatakan, misalnya, “Banyak, kok, anak autisme yang bersekolah di sekolah dasar biasa.”

Jika anak lain atau teman si kecil bertanya tentang perilaku atau kemampuan si kecil, berikan jawaban yang jujur dengan bahasa yang dapat dipahami anak tersebut. Misalnya, “Otot-otot pada kaki Tia menjadi lelah, sehingga Tia tidak dapat berjalan cepat.”

  • Menggunakan respons standar.

Terkadang respons standar sudah cukup. Misalnya, "Sulit untuk dijelaskan. Kalau boleh, saya lebih suka bicara tentang hal lain." Bisa juga dengan mengatakan, “Ada penjelasan bagus tentang kondisi ini di website Klinik MyKidz, baca aja, deh.”

  • Diam sejenak sebelum menanggapi.

Jika Mama diam sejenak sebelum menanggapi komentar yang menyakitkan, kemungkinan besar Mama akan dapat mengatakan sesuatu yang membangun dan positif. Misalnya, "Saat ini, sebagian besar anak yang lahir dengan sindrom Down dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat, bahagia, dan produktif."

Jika Mama merasa mampu, sebaiknya beri tahu orang tersebut tentang perasaan Mama yang terluka oleh responsnya terhadap si kecil yang menyandang disabilitas. “Rasanya sakit hati kalau Ibu (Bapak) mengatakan hal seperti itu,” misalnya. Cara ini dapat membuat orang tersebut jadi lebih berhati-hati di lain waktu.

 

Menjaga Diri dari Frustrasi dan Sakit Hati

Wajar saja jika terkadang Mama merasa frustrasi dan sakit hati ketika lingkungan atau orang-orang di sekitar Mama menunjukkan reaksi yang tidak suportif terhadap buah hati yang menyandang disabilitas. Namun, jangan biarkan Mama tenggelam ke dalam perasaan tersebut. Mama perlu “melampiaskan” rasa frustrasi dan sakit hati tersebut.

Caranya dengan membicarakan hal itu kepada seseorang yang Mama percaya, seperti pasangan atau teman dekat. Katakan, “Tolong biarkan aku bicara sebentar. Aku hanya perlu melampiaskannya. Kamu tidak perlu memperbaikinya untukku.” Lega rasanya setelah dapat mencurahkan semua ganjalan yang bikin frustrasi dan sakit hati.

Dalam situasi hati yang terluka atau ketika sesuatu berjalan tidak sesuai harapan, Mama juga perlu memberikan waktu bagi diri sendiri untuk memproses pikiran Mama dan memulihkan diri.

Ketika Mama mampu menjaga diri sendiri dari rasa frustrasi dan sakit hati, sering kali hal ini akan membuat Mama lebih mampu menangani perasaan Mama atas reaksi lingkungan terhadap si kecil yang menyandang disabilitas.

Namun, jika Mama merasa reaksi orang lain sangat sulit untuk dihadapi atau Mama merasa sering marah, sebaiknya Mama membicarakan hal ini dengan dokter yang biasa menangani si kecil, konselor, atau profesional lainnya. Klinik MyKidz siap membantu Mama-Papa dalam menghadapi tantangan menjadi orangtua dari anak penyandang disabilitas. (*)

 

Sumber:

Raising Children Network

Punya pertanyaan lain seputar layanan kami?