7 Kunci Mengembangkan Ketangguhan pada Anak agar Mampu Menghadapi Tantangan Hidup
Dipublikasikan: Kamis, 7 November 2024
Waktu membaca: 3 menit
Klinik MyKidz – Orangtua sering kali merasa cemas tentang berbagai aspek perkembangan anak-anaknya. Orangtua khawatir, apakah anak-anaknya akan berhasil dalam pendidikan, memiliki cukup teman, dan mengembangkan keterampilan hidup yang diperlukan untuk tumbuh menjadi dewasa. Kekhawatiran ini tentunya bisa membuat orangtua merasa tertekan.
Memang, setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun, jika hari-hari kita diliputi oleh kecemasan, rasanya tak nyaman juga, ya, Ma. Apalagi kita sebenarnya dapat membantu anak-anak kita untuk menghadapi tantangan hidup, baik sekarang maupun di masa depan. Caranya? Kembangkan ketahanan (resiliency) anak!
Dengan mengembangkan ketahanan, anak-anak akan tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang tangguh. Mereka akan lebih mudah mengatasi kesulitan dan beradaptasi dengan situasi sulit, sehingga lebih siap menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.
Intinya, anak yang tangguh adalah anak yang mampu mengelola emosi, beradaptasi, menghadapi tantangan, bangkit kembali setelah mengalami suatu kesulitan atau masalah, dan mampu memaafkan diri sendiri jika melakukan kesalahan.
Apa yang dapat orangtua lakukan? Berikut 7 kunci mengembangkan ketangguhan anak.
1. Puaskan rasa ingin tahu anak.
Anak-anak suka mengajukan rentetan pertanyaan “Mengapa?” atau “Kenapa”?—“Mengapa, Ayah?”; “Mengapa kita harus melakukan itu?”; “Tapi kenapa?”; dan lainnya. Manfaatkan rasa ingin tahunya untuk mengajarinya menjadi pemecah masalah yang andal.
Caranya dengan menggunakan metode “Five Whys” yang dikembangkan oleh Sakichi Toyoda, pendiri Toyota Industries Corporation. Ajukan pertanyaan “Mengapa?” sampai anak menemukan akar dari suatu masalah, yang sering kali muncul pada pertanyaan “Mengapa?” keempat atau kelima.
Melalui metode ini, anak belajar menyelidiki masalah dengan lebih mendalam, memahami akar penyebab, dan mengembangkan keterampilan analitis yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Anak juga terdorong untuk berpikir kritis dan tidak cepat puas dengan jawaban yang dangkal.
Contoh, anak tidak mendapatkan mendapatkan uang saku seminggu—biasanya ini menjadi masalah bagi anak. Nah, bantu anak melakukan analisis sebagai berikut.
- Mengapa kamu tidak mendapatkan tambahan uang saku? Karena kamu tidak menyapu halaman seperti yang kamu janjikan.
- Mengapa kamu tidak menyapu halaman? Karena kamu malah asyik bermain video game.
- Mengapa kamu bermain video game padahal kamu tahu bahwa kamu tidak boleh bermain video game? Karena kamu tidak menyimpannya, video game itu ada di depan TV, siap untuk dimainkan.
- Mengapa kamu tidak menyimpannya ketika aku menyuruhmu? Karena kamu tidak mendengarkan.
- Mengapa kamu tidak mendengarkan? Karena hal itu adalah kebiasaan buruk yang harus kamu perbaiki.
Intinya, pemecahan masalah dimulai dengan menggali penyebab terjadinya suatu masalah, sehingga anak dapat mengatasi akar permasalahannya.
2. Membiarkan anak mengalami kegagalan.
Pernahkah Mama berusaha menjauhkan si kecil dari pengalaman yang Mama anggap tidak menyenangkan bagi si kecil? Jika “ya”, mulai sekarang jangan lakukan lagi, Ma. Pasalnya, tindakan tersebut dapat menghambat tumbuh kembang si kecil.
Memang, tugas orangtualah untuk melindungi anak-anaknya, tetapi tidak berlebihan. Mama juga perlu membiarkan si kecil mengalami kegagalan dan belajar dari kegagalan tersebut untuk bangkit kembali.
3. Memberikan kesempatan pada anak untuk merasa khawatir.
Ketika si kecil datang kepada Mama dengan suatu masalah, Mama mungkin tergoda untuk mengatakan, “Jangan cemas, Sayang.” Atau “Tidak ada yang perku dikhawatirkan, Nak.”
Padahal, mempelajari cara mengatasi kecemasan/kekhawatiran merupakan bagian penting dari ketahanan. Taryn Marie Stejskal menyarankan orangtua agar menyediakan “sesi khawatir/cemas” untuk anak.
Atur pengatur waktu selama lima menit dan minta anak memikirkan setiap aspek kekhawatirannya. Anak bahkan dapat menuliskan semua kecemasannya. Setelah sesi tersebut berakhir, minta ia melepaskan kekhawatirannya dan tidak lagi memikirkannya. Jika ia mulai khawatir lagi, ingatkan bahwa ia sudah melewati masa khawatir. Sesi ini dapat dilakukan setiap hari, jika diperlukan.
Mama juga bisa mengajak si kecil membuat kotak atau stoples kekhawatiran. Minta ia menuliskan setiap kekhawatiran/kecemasan yang dirasakannya pada selembar kertas, lalu simpan dalam kotak/stoples tersebut. Katakan kepadanya, setelah berada di dalam kotak/stoples, ia tidak perlu memikirkannya lagi.
4. Ajak anak memikirkan skenario terburuk dan terbaik dari suatu situasi.
Mengajak anak berpikir tentang dua kemungkinan ekstrem: skenario terburuk dan skenario terbaik dari suatu situasi, dapat membantunya menghadapi kekhawatiran.
Saat anak gelisah, tanyakan, “Apa hal terburuk yang bisa terjadi?” Cara ini, menurut Stejskal, membantu anak merasa lebih aman karena menyadari bahwa hasil terburuk yang ia pikirkan tidak seburuk yang ia bayangkan.
Hal ini memberikan perspektif yang lebih baik, karena anak dapat melihat bahwa ada solusi atau bantuan yang tersedia jika sesuatu yang buruk terjadi. Misalnya, jika anak khawatir tidak lulus ujian, ia bisa meminta bantuan guru atau mencari tutor.
Cara ini membantu anak melihat bahwa sebagian besar masalah dapat diatasi. Anak juga belajar, ia memiliki kemampuan untuk mengatasi skenario terburuk sekalipun. Ini membantunya merasa lebih percaya diri dan lebih mampu menghadapi tantangan.
Di sisi lain, anak juga perlu memikirkan skenario terbaiknya. Dari sini ia belajar untuk tidak fokus hanya pada kemungkinan terburuk, bahwa selalu ada kemungkinan hasil yang baik dari suatu situasi.
Anak dapat mengembangkan proses berpikir yang lebih seimbang, mempertimbangkan berbagai kemungkinan, baik positif maupun negatif, sehingga lebih siap dan mampu menghadapi tantangan.
5. Menghargai pertumbuhan pribadi.
Dorong anak untuk fokus pada pertumbuhan pribadi daripada terus-menerus mencari persetujuan atau bergantung pada pengakuan orang lain. Tentu wajar saja jika anak menginginkan pengakuan dari orangtua. Hanya saja, pencarian persetujuan yang berlebihan dapat mengganggu perkembangan jati dirinya.
Menurut Scott Mautz, mantan eksekutif senior Procter & Gamble, penting bagi anak untuk menilai pencapaiannya berdasarkan harapan dan tujuan pribadi, bukan berdasarkan standar atau penilaian orang lain.
Dengan mendorong anak menilai pencapaiannya berdasarkan harapan dan tujuan pribadi, ia bisa belajar untuk lebih menghargai diri sendiri. Minta anak bertanya pada dirinya sendiri: "Apakah saya telah mencapai apa yang saya inginkan?" dan "Apakah saya menjadi versi diri yang lebih baik?"
Pendekatan ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi untuk terus berkembang, sehingga anak dapat menjadi individu yang lebih autentik dan tidak terlalu bergantung pada pendapat orang lain.
6. Fokus pada proses, bukan hasil.
Terlalu fokus pada hasil usaha bisa mengarah pada sikap perfeksionis. Hal ini dapat membuat anak enggan mengambil risiko dan berkembang.
“Terlalu bersemangat dengan hasil dapat menggerogoti kekuatan mental anak-anak, karena banyak faktor, selain usaha, yang dapat memengaruhi hasil,” kata Mautz.
Sebaliknya, ajari anak untuk jatuh cinta pada proses. Tanyakan padanya, apa yang ia pelajari dalam proses tersebut atau apakah ia bersenang-senang. Ini dapat membantunya melihat bahwa ada nilai dalam mencoba hal-hal baru, meskipun hasilnya tidak sesuai rencana.
7. Jangan biarkan anak terjebak dalam “Ini tidak adil!”
Sangat penting untuk mencegah anak terjebak ke dalam mentalitas korban—pola pikir yang menganggap diri sebagai korban. Sering kali pola pikir ini muncul ketika anak merasa, “Ini tidak adil!” Akibatnya, anak cenderung merasa tak berdaya dan menjadi pasif.
Ketika anak terjebak dalam mentalitas korban, ajukan pertanyaan ini kepadanya, “Apakah kamu hanya ingin segalanya berubah ataukah kamu ingin mengubahnya?” Ini membuat anak berpikir secara aktif dan proaktif, mengajaknya untuk mengambil inisiatif dalam menghadapi situasi sulit, alih-alih hanya mengeluh.
Dengan mendorong menjadi "pemimpin perubahan", anak dapat mengembangkan kekuatan mentalnya. Anak belajar, dirinya memiliki kemampuan untuk memengaruhi keadaan, yang pada gilirannya membantu anak menjadi lebih tangguh. (*)
Sumber: